Kamis, 23 Juli 2015

PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH

  • UNDANG UNDANG OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
  1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
  2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]:
  1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
  2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
  3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
  1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
  2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
  3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
  2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


  • PERUBAHAN PENERIMAAN DAERAH DAN PERANAN PENDAPATAN ASLI DAERAH
Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, serta penerimaan pembangunan. Pesatnya pembangunan daerah yang menyangkut perkembangankegiatan fiskal yang membutuhkan alokasi dana dari pemerintah daerah mengakibatkan pembiayaan pada pos belanja yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan membutuhkan tersedianya dana yang besar pula17 untuk membiayai kegiatan tersebut.
Belanja (pengeluaran) pemerintah daerah yang oleh pemerintah daerah dilaporkan dalam APBD merupakan kegiatan rutin pengeluaran kas daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan operasi dalam pemerintahan. Dengan belanja yang semakin meningkat maka dibutuhkan danayang besar pula agar belanja untuk kebutuhan pemerintah daerah dapat terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan belanja pemerintah, maka diharapkan pelayanan terhadap masyarakat menjadi lebih baik dan kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.
Di samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari :
1. hasil pajak daerah;
2. hasil retribusi daerah;
3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkannya;
4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

  • PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL

    Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah.Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik.Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
    Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu provinsi, kabupaten, atau kota. 
    Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
    Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000).

    Untuk melihat ketidak merataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan;
    1. Pertumbuhan output yaitu mengetahui indikator kapasitas produksi
    2. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah
    3. Pertumbuhan output perkapita sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan .


    Kita dapat mengidentifikasi tiga alasan terjadinya ketidakmerataan pertumbuhan regional yaitu;
    • Technical progress berubah diantara region;
    • Pertumbuhan capital stock berubah diantara region;
    • Pertumbuhan tenaga kerja berubah diantara region

    Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk mencipatakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
    Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah.Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah.Oleh karena itu pemerintah daerah berserta pertisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.

    Pembangunan ekonomi nasional sejak PELITA I memang telah memberi hasil positif bila dilihat pada tingkat makro. Tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita mengalami peningkatan dari hanya sekitar US$50 pada pertengahan dekade 1960-an menjadi lebih dari US$1.000 pada pertengahan dekade 1990-an. Namun dilihat pada tingkat meso dan mikro, pembangunan selama masa pemerintahan orde baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk personal income, distribution, maupun dalam bentuk kesenjangan ekonomi atau pendapatan antar daerah atau provinsi.

  • FAKTOR FAKTOR PENYEBAB KETIMPANGAN
Tidak dipungkiri bahwa kesenjangan ekonomi antar wilayah di di Indonesia sangat tinggi dan terus melebar serta jauh dari harapan akan pencegahan ataupun pengatasiannya, bayangkan saja pertumbuhan ekonomi masih berpusat di Jawa yang ditandai dengan perputaran ekonomi yang mencapai 57,63%, kemudian dilanjutkan oleh pulau Sumatera dengan 23,77 persen, sisanya terjadi di wilayah Bali, Nusra, Maluku, dan Papua. Dengan kesenjangan ini jugalah yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi di daerah pada negara berkembang, untuk lebih jelasnya berikut beberapa faktor utama penyebab terjadinya ketimpangn pembangunan ekonomi dalam satu wilayah Negara.
·      Konsentrasi Kegiatan ekonomi, Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Sehingga tidak salah jika kita masih menemukan masalah utama dalam pembangunan, yaitu; 1). Kegiatan ekonomi hanya terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. 2). Dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari daerah tersebut.
Jika keadaan ini terus dibiarkan maka, daerah di luar pulau Jawa akan rugi dan semakin miskin saja, karena 1). Daerah akan kekurangan L yang terampil, K serta SDA yang dapat diolah untuk keperluan sendiri. 2). Daerah akan semakin sulit dalam mengembangkan sektor non primer khususnya industri manufaktur, dan akan semakin sulit mengubah struktur ekonominya yang berbasis pertanian atau pertambangan ke industri.  3). Tingkat pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah sehingga pasar output semakin lama, dan menyebabkan perkembangan investasi di daerah semakin kecil. 
·      Alokasi Investasi, Indikator lain juga yang menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut menjadi rendah, karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif, seperti industri manufaktur. 
·      Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah , Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin majunya suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal. Ketika sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist: naik kelas).  Fenomena “move up the ladder” ini dengan sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini sangat substansial, karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan yang berada di atasnya. Lapisan inilah yang diisi oleh para migran kelas bawah. Salah satu pilar ekonomi liberal adalah kebebasan mobilitas faktor produksi, termasuk faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi administratif negara tidak menjadi penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap saja perpindahan ini perlu ditinjau dan dikontrol agar tetap teratur. 
·      Perbedaan SDA antar Provinsi , Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya samapai dengan tingkat tertentu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan. Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai sebaliknya malah akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Oleh karena itu,  proses desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat daerah,  khususnya daerah Tingkat II. Hal ini merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien. Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara seimbang perencanaan yang lebih teliti mengenai penggunaan sumber daya publik dan sektor swasta: petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar, organisasi sosial harus mempunyai peran dalam proses perencanaan.
·      Perbedaan Kondisi Demografis antar Provinsi, Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.
·     Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi , Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran tersebut disebabkan karena keterbatasan transportasi dan komunikasi.

  • P PEMBANGUNAN INDONESIA TIMUR
Pembangunan di daerah-daerah yang bersifat pembangunan regional, pembangunan wilayah atas pembangunan kawasan, dimanapun dilaksanakan di kepulauan nusantara ini dan di dalam skala apapun, adalah bagian terpadu dari pembangunan nasional yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat secara merata.

Orientasi terhadap suatu kawasan, seperti kawasan Indonesia Bagian Timur (IBT) adalah karena sebab-sebab tertentu. Misalnya di kawasan tersebut secara relatif (dibandingkan dengan daerah daerah di kawasan lain) masih jauh tertinggal baik dalam hal keadaan prasarana fisik, sosial,
sumber daya (dana dan manusia), maupun kelembagaan.

Perhatian yang relative lebih besar sejak beberapa tahun terakhir ini ke IBT harus dilihat dari konsekuensi prinsip pemerataan dari strategi Trilogi Pembangunan. Dengan strategi tersebut dapat dipahami bahwa untuk meningkatkan prinsip pemerataan, diperlukan pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan adanya kestabilan nasional yang dinamis. Oleh karena Indonesia adalah Negara ksatuan yang berwawasan nusantara, maka kebijaksanaan pembangunannya bersifat"menyatu dan "menyeluruh" secara nasional meskipun pelaksanaannya perlu disesuaikan dengan keadaan
setempat. Dengan demikian, meskipun perhatian terhadap IBT relatif lebih besar, perhatian tersebut tidak terlepas dari kemampuan nasional untuk meningkatkan potensi pembangunan menjadi kinerja yang berdampak kepada perwujudan akan Trilogi

* Deputi Bidang Sosial Budaya – Bappenas Pembangunan yaitu Pemerataan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Stabilitas Nasional. Artinya, keberhasilan pembanguan IBT perlu didukung oleh keberhasilan pembangunan di semua wilayah Indonesia yang lain. Hal ini disebabkan sumber daya pembangunan (penduduk, alam, prasarana, tingkat kemajuan pembangunan dll) di berbagai wilayah Indonesia tidak sama potensinya. Keberhasilan merencanaan dan melaksanakan pembangunan secara saksama dan terpadu dengan memanfaatkan potensi sumber daya pembangunan di berbagai daerah dan wilayah, akan sal ing mengisi dan memperkuat satu dengan lainnya, sehingga dapat dicapai suatu gerakan pembangunan nasional seperti digariskan dalam GBHN dan Repelita.

Keadaan Sumber Daya Manusia (SDM)
Salah satu sumber daya pembangunan yang telah mendapat perhatian dan akan makin tinggi prioritasnya adalah sumber daya manusia yang perlu ditingkatkan mutunya. Selama dua puluh tahun pembangunan orde baru, telah banyak yang berhasil dicapai dalam upaya meningkatkan mutu SDM. Dari sudut pendidikan demikian juga, meskipun masih banyak rasa ketidak puasan tentang pendidikan kita, terutama dalam hal mutu pendidikan, namun demikian pembangunan telah memberikan kesempatan belajar yang lebih besar dan dan lebih luas kepada anak-anak TK, SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Jumlah anak umur 7-12 tahun (SD) hampir seluruhnya (99,6%) telah berpartisipasi dalam pendidikan SD, 56,6% di SLTP, 38,8% di SLTA dan yang melanjutkan di PT 42%. Angka-angka tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan pada awal tahun 70-an pada saat memulai Repelita I.

Di bidang kesehatan
Seperti diketahui jugatelah dicapai banyak kemajuan penting, bidang penurunan angka kematian bayi, perbaikan keadaan gizi penduduk, peningkatan umur harapan hidup, dan Iain-lain.

Di bidang ekonomi
Selama dua puluh tahunlebih pembangunan telah berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5%. Dengan pertumbuhan ini Indonesia telah bangkit dari salah satu negara yang termiskin di dunia pada tahun 1967 dengan pendapatan US $ 75 per kapita meningkat menjadi US $ 500 per kapita pada tahun 1990.

 Peningkatan pendapatan per kapita yang enam kali lipat tersebut merupakan prestasi luar biasa bagi suatu negara yang berpenduduk kelima terbesar di dunia. Peningkatan pendapatan disertai juga makin
membaiknyaa pemerataan distribusi pendapatan. Dalam tahun 1978 data SUSENAS menunjukkan bahwa ratio pendapatan terendah adalah 6,2.

Disamping keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan seperti
diuraikan di atas, masih banyak catatan dan keberhasilan lainnya, misalnya di bidang kependudukan dan KB serta swasembada pangan.
Keberhasilan pada tingkat nasional tersebut sangat penting artinya, antara lain bagi peningkatan mutu sumber daya manusia, yang akhirnya akan sangat
diperlukan juga untuk memacu pembangunan di daerah-daerah atau wilayah-wilayah.
Pembangunan IBT

Di balik keberhasilan .pembangunan seperti diuraikan di muka, masih dihadapi masalah
kesenjangan laju pembangunan antar daerah. Meskipun secara nasional tingkat kesenjangan
distribusi pendapatan per kapita adalah masih lebih baik dibandingkan beberapa negara lain, kita harus mengakui bahwa laju kecepatan pembangunan antar
daerah di Indonesia ternyata berbeda. Ada daerah yang sangat cepat maju, ada yang biasa-biasa saja (rata-rata nasional), dan ada juga yang sangat lambat bahkan ketinggalan jauh dari rata-rata nasional.



Dengan menggunakan IPS ( Indeks Pembangunan Sosial) yang diolah dari SUSENAS
dan dataa BPS lainnya tahun 1985 dapat diketahui adanya disparitas kesenjangan pembangunan kita. Angka IPS yang masuk peringkat terbaik (jauh di
atas rata-rata nasional) adalah DKI, Yogyakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Utaara, dan Bali.
Sedang daerah-daerah yang di bawah rata-rata nasional pada umumnya berada di wilayah IBT.
Apabila diidentifikasikan secara umum, berbagai kendala pembangunan di IBT dapat dikelompokkan ke dalam beberapa masalah, antara lain sebagai berikut:

1.      Masalah penduduk dalam jumlah, komposisi, penyebaran dan kualitasnya
2.      Masalah prasarana ekonomi (komunikasi darat, laut, udara)
3.      Masalah kehidupan pedesaan yang basis pertaniannya masih sangat tradissional;
4.      Masalah kelembagaan (aparatur pemerintah, swasta/dunia usaha, organisasi masyarakat).

Perlu dicatat kendala-kendala tersebut juga terdapat di wilayah-wilayah lain seperti di Aceh, bagian barat Sumatera pada umumnya, termasuk di bagian barat Aceh dan Sumatera Utara.
Kebijaksanaan pembangunan di IBT mengikuti kebijaksanaan umum nasional dalam prioritas alokasi dana pada Repelita V yang ditekankan pada :
  1. Pembangunan prasarana fisik ekonomi (jalan, jembatan, transportasi, komunikasi) dan   prasarana fisik ssosial (sekolah, puskesmass, rumah sakit)
  2. Sumber daya manusia (pendidikan, kesehatan,keseempataan kerja, agama, dan sebagainya)
  3. Penanggulangan kemiskinan, antara lain dengan tnenyediakan pelayanan-pelayanan dasar
  4. Operasi dan pemeliharaan.


Perencanaan program Pembangunan prasarana fisik di IBT selama ini disesuaikan dengan kendala dan potensi, permasalahan dan kebutuhan masing-masing daerah. Selama ini untuk IBT telah diberikan perhatian besar pada pembangunan prasarana pengairan, jalan, listrik, pelabuhan, telekomunikasi dan sebagainya untuk memperlancar arus barang dan jasa serta merangsang kegiatan perekonomian setempat. Sejalan dengan itu juga ditingkatkan programprogram sumber daya manusia antara lain melalui perluasan dan peningkatan mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan. Pembangunan prasaranan ekonomi dan sumber daya manusia juga  ditujukan untuk mendorong para investor di wilayah IBT


  • TEORI DAN ANALISIS PEMBANGUNAN DAERAH


Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster.
Zona pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
1. Membangun setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya.
2. Menciptakan proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan
3. Memberikan peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor lainnya.
Terdapat pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1995) adalah :
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar